Alamat:Dusun sambitangga,desa rade,kec,Madapangga kabupaten Bima
Suara Hatiku Menghadapi Virus Corona
Berawal dari sebuah goresan, tulisan yang menggemparkan bagi sejuta umat, telah menjadi sebuah keharusan di dalam melindungi diri, sebuah nilai yang dianggap tak apa oleh masyarakat, kini akan meracau, bagaimana diri yang terluka akan negeri, ketakutan akan sosok yang tak kasat, mata yang menjadi peninjau, kehilangan arah akan sesuatu yang mematikan, kegundahan di dalam menjalani setiap kehidupan, hari berlalu menjadi hari, setiap menit menjadi derita yang menengangkan. Sosok inilah yang menjadi tersangka, dimana? Siapa?kapan?dan apa? Sosok yang mampu mengunci segala penduduk semesta. Dimana? Menjadi topik yang sangat tabu dalam menanyakan suatu pemikiran, dimana harus mencari? Pengobat menjadi dugaan dalam menyembuhkan, lalu siapa yang menjadi pengobat? Kapan dan apa obatnya?.
Pada detik yang perlahan cepat mendentum, tak terasa telah berlalu menjadi menit, namun lihatlah wahai semesta, perbuatan siapakah yang menjadi sebab, saling mengingatkan namun dengan kekerasan, tidak memberikan ruang Tuhan untuk berspekulasi, jadinya kebingungan terjadi dimana-mana, otak-otak cerdas mencoba menemukan penawar, namun lupa dengan siapa pencipta dari sosok itu? Kini menjadi sebuah harapan pada aturan-aturan yang menjadi nalar logika, jaminan yang tak didapat, sedang sebuah ketetapan yang mengikat. Disini tidakkah sebuah pemikiran yang mendasar muncul dalam benak, apa langkah terakhir yang menjadi kemiripan dari menyerah? Setiap orang mengetahui bagaimana mereka menjalani hidup, namun tidakkah Aku lebih mengetahui bagaimana makna hidup, tak ada ketakutan, tidak ada kekhwatiran dan tidak ada keraguan di dalam menantang kematian. Mengapa dan kenapa? Inilah satu yang menjadi esa, sesuatu yang tak luput namun tak lumpuh, sesuatu yang suci namun tak kotor, sesuatu yang bersih namun tak kusut. Siapakah yang menjadi pengobat dan penenang dari para jelmaan yang menyakiti. Kepada Dia pemengang atas kekuasaan, itulah yang menjadi suatu ciri dari diri yang berakal.
Lambaian indah garis tangan yang tak ingin bersentuh, niat hati ingin bersalaman pada sang kekasih yang tak sempat bertemu. Namun, ketakutan pada yang semu, menjelaskan jarak yang nyata pada waktu. Hidup dalam kegundahan negeri, hidup pada ketidakjelasan pasti yang diberikan oleh sang pengiring janji. Wahai negeri, tidakkah angin mengabarkan kabar suka pada DiriMu? Saat ini, negeri tengah berada dalam suatu ketakutan, sebuah ledakan terdengar di seberang negeri, namun mengapa negeri ini yang tengah hancur. Tidakkah negeri ini sedang dipermainkan? Segalanya tak menjadi solusi. Tidak ada bagusnya berkoar-koar pada mereka yang melanggar, karena pada dasarnya negeri ini telah berduka. Langkah kaki dihentikan oleh sebuah suhu, menghakimi jika mereka salah atau lupa dalam ketentuan. Maka sudah benarkah apa yang dilakukan? Tak menjadi benar jika yang diusahakan hanya peduli tentang sebuah hukuman, mengapa penguasa seakan menciptakan kepanikan. Demi kebaikan semua orang katanya, lalu apakah yang membaik? Negeri ini terlalu banyak dengan ketakutan pak, takut akan hari esok. Lalu sebagian orang merasa benar karena telah melakukan hal yang dikatakan benar, namun apa dan siapa yang menjadi kebenaran? Negeri ini memang sedang tidak baik-baik saja, wabah yang melanda, kelaparan yang dirasa, kebingungan yang tertera, dan pemegang kuasa yang sedang mengubah tata. Yang seperti nya tak memiliki solusi. Uang Kami telah habis, habis karena peraturan bodoh yang angkuh. Menjadi bagian dalam negeri, namun tak pernah ditanya tentang negeri, mereka teramat angkuh akan jawabannya. Segala yang berawal pasti berakhir. Di waktu ini telah terukir pada tangisan semesta. Dan ketahuilah, bukan hanya semesta yang sedang menciptakan ketakutan, ada juga sang penguasa itu yang sedang menciptakan kegaduhan, yang kemudian berujung kegundahan. Lalu bagaimana dengan mereka yang tak memiliki apapun, bahkan suara tak memiliki tempat. Bukan ini yang dinginkan, bahkan kalian pun tak menginginkan, namun mengapa hanya mereka yang hidup dalam sebuah kesengsaraan. Kini, tidak bisakah membuka lembaran baru, membuka seluruh tirai yang tertutup, menikmati sang Surya yang telah tampak pada ujung langit. Tiada ketakutan terhadap wabah corona ini, maupun terhadap mahluk-mahluk yang berseragam yang menghadang, sehingga lelah benar berdiri, kemudian melampiaskan amarah pada manusia-manusia yang dikatakan salah itu. Janganlah ada lagi perampasan Bu. Biarkan lah kami yang telah hidup lama dalam duka ini, biarkan lah kami berdamai dengan pahit yang teramat, yang menjelajah pada seluruh nadi. Hanya ingin sebuah kesejahteraan, jangan lah hadirkan sebuah ketakutan pada negeri. Karena segalanya pasti memiliki jalan keluar. Saat nya meminta segalanya pada Tuhan. Tak perlu menjadi egois dalam menyelesaikan. Tanyakanlah pada seluruh rakyat, jadikan sebuah sayembara kehidupan. Yang menjadi obat pastilah datang, jika meminta pada yang tepat. Maka janganlah ada ketakutan, mari bersama-sama mencari sebuah keutuhan, agar tak menjadi sebuah kutukan.
Telah muncul berbagai hamba yang mengatasnamakan pengobat. Sebuah penawar yang datang dari sebuah penelitian yang memakan korban jiwa, berbagai perbincangan hangat pada setiap sabda dari tokoh-tokoh terkenal, membicarakan segala macam dari solusi. Aku sangat menghargainya, bagaimana para pemimpin ini yang mencoba atas segala cara yang menjadi kesimpulan, walau kesimpulan dan solusi belum dapat ditentukan secara pasti. Penantian berbagai penantian mulai dialami oleh berbagai pihak, sosok ini menjadi satuan waktu baru yang tak dapat dibiasakan.
Tolong kami, menjadi iringan doa kepada para cendikiawan, kepada para yang berkuasa tanpa yang maha penguasa. Ini peringatan yang perih, melelahkan, bahkan mungkin menyenangkan, sesuatu perihal yang mengadu pada kesakitan para malaikat penolong, mereka pun mati, tak dapat menolong, lalu kepada siapakah hati ini harus menyeru? Pada perasaan patah hati ditinggal kekasih, pada rintihan dari sayatan yang melukai, kemanakah harus meminta? Menodongkan kedua tangan kepada para meminta. Menjadi perdebatan di dalam memahami tulisan.
Apakah tidak sedang melucu, ia yang sedang duduk manis ditengah meja, ditengah pandemi yang menjadi kehidupan serta kewajiban baru dalam mentaati peraturan, semua terkunci, kaki, tangan dan mulut, kami dipaksa berhenti di dalam mengeksplor seluruh semesta.
Para balada itu bilang, semua ini untuk keamanan dan pertahanan diri, namun sampah ini mengatakan ' ya sudah mau bagaimana lagi, kami juga ingin selamat'. Hati ini dan diri ini merintih atas segala kebodohan negeri, bahkan mungkin semesta. Penawar yang dipercayainya kini telah perlahan mengambilnya dari kehidupan, suara itu menggema, mengumandangkan berbagai gagasan tentang tata cara menjalani hari.
Setiap orang takut, masyarakat takut, rakyat takut, bahkan para pemimpin pun memilih untuk melindungi diri dari sanak tanpa memperdulikan, kini terpecah menjadi dua, menjadi kedua sisi yang saling bertentangan, disini kami tidak memihak, namun kami menginginkan persatuan. Pada dasarnya sosok itu yang menjalar ke dalam tubuh kami, menikam segala diri yang dirasuki dan mengambil segala tawa yang menjadi harapan. Ancaman berbagai ancaman mulai tertanam di dalam naluri yang tak berisi, jelas sudah yang menjadi praduga, bahwasannya kami menginginkan segala keseluruhan negeri ini saling mengobati, tidak dengan perpecahan, dan tidak dengan kenaifan para pelosok yang menjadi sumber dari mahkota raja. Para penipu ulung yang mempercayai segala perkataan para janda, sosok yang selalu membelakangi atas hilangnya kewibawaan para pemilih yang mengkhianati.
Dan disinilah tokoh dari seorang mahkota raja yang peduli namun seperti pepatah 'bagai punuk merindukan bulan' seolah disembunyikan di dalam tangan yang berkuasa. Inilah kehidupan pandemi, kami mati, mereka tersenyum.
Mengapa para penguasa terus saja berulah, tanpa membiarkan para rakyat mu hidup tenang dalam rumah. Membuka siaran pagi yang terus saja menghitung angka duka. Yang tak berpeluang memilukan harta. Negeri ini sempurna bernama Indonesia, yang menjadikan kepolosan adalah kebodohan tahta. Butuh otak pintar dan akal banyak jika ingin hidup kaya. Jika tidak, maka hanya akan dirimu yang menderita. Cerita duka yang menjadi latar indah bagi suatu negara, agar kelak negeri bisa menemukan makna luka. Negeri ini sudah terlalu banyak dengan duka pak, dahulu maupun kini. Tidak cukupkah ditindas oleh negeri orang? Sampai ingin menindas bangsa sendiri? Masih banyak kah cerita duka itu pak? Hingga negeri ini masih belum bisa menemukan makna duka. Sudah terlalu banyak yang dikenang, masih adakah yang ingin terkenang pak? Lalu siapakah di balik luka yang tergores? Mungkinkah Mereka yang tengah duduk mendengar, membisu dalam kesunyian cerita? Siapakah yang pantas disalahkan? Yang terlihat, yang melihat ataukah ia yang menggeliat?
Lautan mengering mendengar kebisingan negeri. Ia lelah menampakkan peringatannya pada kini. Hujan yang sakit hati atas pengorbanan yang tak dihargai. Mentari yang mendengar pun enggan tuk bersimpati. Ia telah lama hidup dalam kesendirian diri. Menyimpan kehangatan pada malam sunyi, lalu berbagi cerita dalam sinarnya yang suci.
Lalu siapakah yang lebih tak peduli? Tentang hidup dengan senyuman yang hanya terukir di wajah sendiri. Tidakkah negeri juga sangat ingin tersenyum semi?
Mengertikah manusia-manusia itu tentang makna peduli? tentang sebuah rasa bukan hanya sebuah kata. Yang membutuhkan kita yang berkerjasama, dalam mendamaikan negeri yang tengah bertamasya menyusuri perjalanan pada neraka. Maka, saatnya kita meluruskan doa, agar tak lagi menjadi amukan dosa. Apakah yang dikira wabah ini adalah sebuah ujian? Bukankah ini adalah tentang sebuah peringatan?
Jangan menjadi bodoh dan angkuh dalam mencari makna, ini adalah hanya sebuah awal dari cerita. Maka cepatlah sadari, supaya hancur bukanlah yang menjadi diri. jangan sampai melihat sebuah akhir yang tak diinginkan. Hingga meledakkan sebuah pikiran. Satukan keyakinan, lalu temukan akhiran, yaitu kesejahteraan yang diinginkan.
Bunga-bunga mulai bermekaran, tersenyum pada mentari yang mulai membaik, tak ada awan hitam yang menutupnya, tak ada gencaran pada semesta yang perlahan tertawa.
Hari ini begitu sejuk, indah dirasa, menikmati sorenya, malamnya dan paginya hari yang mengepung, rotasi dari setiap pergantian. Kepala menjadi berangan di dalam memikirkan setiap kenangan. Hening hati memutar kembali memori yang berikrar, para petinggi yang bersumpah untuk menuntaskan, namun menegaskan untuk melepaskan, mereka bingung akan keadaan negeri yang terpuruk, kini hitungan lampau telah berlalu, setiap detik dan dentuman waktu perlahan menghempas, akankah terus seperti ini atau akan membaik seperti pada kalanya? Kini kita sedang menunggu, masih lamakah untuk Tuhan menurunkan tanganNya kepada kami? Terasa sangat menyiksa namun tidak untuk semesta, pada setiap harinya, ia berkumandang menyebut dan memuja nama Tuhannya, terima kasih untuk menjadikan ku kembali? Namun apakah ia benar-benar kembali? Keadaan yang semakin memaksa untuk berdesak, melampiaskan segala arah untuk memperbaiki negeri, namun ketetapan yang diputuskan adalah apa yang diperas dari keringat rakyat.
SuaraKu adalah ketetapanKu, dan ketetapanKu adalah hidupKu, apakah ada yang mampu membungkamnya? Aku memberikan ruang kepada mereka untuk menjawabnya?.
Kini arunika telah terbentuk, senyap-senyapnya perlahan bergemuruh berkicau di atas langit, masih ada banyak tanya di dalam benak namun bukan alasan untuk tetap terus terpaku, berjalanlah layaknya berjalan, dan berlarilah layaknya berlari, jangan menunggu sesuatu yang tidak kamu ketahui bagaimana alurnya, kecuali kamu mengetahui siapa yang mengaturnya. Hidup adalah tentang kenikmatan, bagaimanapun prosesnya, pahit, manis, sedih dan gembira, tetaplah nikmati apa yang menjadi langkah. Ini adalah kata-kata AyahKu, dan Aku, kita sedang merindukannya, untuk apa berlari kalau bisa mendapatkannya dengan berjalan, perlahan tapi pasti. Nikmati hari-harimu, dan syukuri selalu apa yang menjadi nikmat Tuhan. Aku, sang pejalan.
(Riska & Riski)
Maha benar Allah, dengan segala urusannya....
BalasHapusAlhamdulillah teruslah dan jangan hentikan, aku dia dan mereka satu...🌹
Amiiin
BalasHapus