![]() |
| Foto: Ilustrasi (google) |
Dompu, NTB – Suarasemesta.com --, CV. Andre Perkasa, perusahaan pelaksana tiga paket proyek pengadaan langsung (PL) dari Dinas Pertanian dan Perkebunan (Distanbun) Kabupaten Dompu, kembali menuai sorotan tajam publik.
Pasalnya, perusahaan tersebut diketahui tidak layak mengerjakan proyek konstruksi pemerintah maupun swasta karena Sertifikat Badan Usaha (SBU) miliknya berstatus tercabut, sebagaimana tercantum dalam laman resmi Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Meski demikian, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) tetap melakukan pembayaran penuh atas pekerjaan tersebut. Keputusan itu dinilai sejumlah pihak cacat hukum karena melanggar prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan keuangan negara.
Pembayaran ini pun memantik kontroversi di tengah masyarakat dan menimbulkan dugaan adanya kejanggalan administratif dalam proses pelaksanaan kegiatan proyek tersebut.
Menanggapi hal itu, Guntur Gunawan, ST, M.Si, selaku Pejabat Pengadaan Distanbun Dompu, menyebutkan bahwa pembayaran dilakukan karena pihaknya tidak memiliki dasar hukum yang kuat untuk memutus kontrak dengan CV. Andre Perkasa.
“Kabar bahwa SBU perusahaan itu tercabut, kami terima saat pekerjaan telah usai. Sehingga kami memutuskan untuk tetap membayar pekerjaan CV. Andre Perkasa,” ujar Guntur saat dikonfirmasi di ruang kerjanya, Jumat (18/10/2025) sore.
Guntur mengaku, pada saat proses verifikasi berkas, pihaknya tidak mengetahui status pencabutan SBU perusahaan tersebut. Menurutnya, dalam sistem LPSE dan SIKAP, hanya tercantum masa berlaku perusahaan tanpa keterangan tambahan mengenai status tercabut atau dibekukan.
“Kami sebelumnya tidak mengetahui ada laman LPJK, yang kami tahu hanya LPSE dan SIKAP selama ini,” jelas pria yang saat ini menjabat sebagai Kabid Statistik Dinas Kominfo itu.
Ia menambahkan, selama ini belum pernah ada sosialisasi resmi terkait LPJK kepada pejabat pengadaan.
“Harusnya LPJK ini disosialisasikan agar kami tahu dan bisa melakukan pengecekan secara benar,” ketusnya.
Secara terpisah, Nanang Kurniawan, S.H., M.H., seorang advokat sekaligus pemerhati pembangunan daerah, menilai bahwa pernyataan dan tindakan pejabat pengadaan Distanbun terlalu menggampangkan persoalan hukum dalam pengelolaan proyek pemerintah.
“Kalau memang tidak paham, seharusnya berkonsultasi dengan pihak yang memahami mekanisme LPJK. Jangan mengambil kesimpulan sepihak,” tegas Nanang.
Ia menilai, pembayaran proyek kepada perusahaan dengan SBU tercabut jelas cacat hukum, dan seharusnya tidak boleh dilakukan karena bertentangan dengan regulasi pengadaan barang dan jasa.
Lebih lanjut, Nanang mengutip Pasal 54 ayat (2) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 14 Tahun 2021 tentang Perubahan atas PP Nomor 22 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan UU Jasa Konstruksi, yang berbunyi:
“Badan Usaha Jasa Konstruksi yang Sertifikat Badan Usahanya dicabut tidak dapat melakukan kegiatan usaha Jasa Konstruksi.”
Menurut Nanang, ketentuan ini secara tegas melarang perusahaan yang SBU-nya tercabut untuk melaksanakan pekerjaan jasa konstruksi dalam bentuk apa pun, termasuk proyek pemerintah.
“Artinya, ketika SBU sebuah perusahaan sudah dicabut, maka seluruh aktivitasnya dalam bidang jasa konstruksi otomatis tidak sah secara hukum. Dengan demikian, kontrak yang dijalankan dan pembayaran yang dilakukan menjadi cacat hukum, karena pihak penyedia tidak lagi memenuhi syarat kualifikasi sebagaimana diatur oleh peraturan perundang-undangan,” jelas Nanang.
Ia menambahkan, PPK dan pejabat pengadaan seharusnya melakukan klarifikasi atau verifikasi ulang sebelum melakukan pembayaran, seperti yang dilakukan oleh beberapa dinas lain di Dompu yang lebih hati-hati dalam mencairkan anggaran.
“PPK punya kewajiban untuk memastikan kelayakan administrasi penyedia sebelum pembayaran. Ini bagian dari prinsip akuntabilitas dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah,” imbuhnya.
Nanang juga menyampaikan bahwa dalam waktu dekat pihaknya akan melayangkan somasi resmi kepada Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Dompu. Somasi itu akan memuat tuntutan klarifikasi hukum atas dasar pembayaran proyek kepada penyedia yang tidak memenuhi syarat kualifikasi.
“Kami akan meminta klarifikasi tertulis dari Dinas, dan jika dalam waktu tujuh hari tidak ada tanggapan, kami akan membawa persoalan ini ke ranah hukum. Termasuk melaporkannya kepada Kejaksaan Negeri Dompu, BPKP, dan Ombudsman RI,” tegasnya.
Nanang menegaskan bahwa langkah ini bukan semata untuk mencari kesalahan, melainkan untuk memastikan penyelenggaraan pengadaan barang dan jasa pemerintah berjalan sesuai hukum dan asas akuntabilitas publik.
“Ini demi menjaga integritas dan kepercayaan publik terhadap sistem pengadaan di Dompu. Tidak boleh ada pembenaran atas pelanggaran prosedural, sekecil apa pun,” pungkasnya. (*)

COMMENTS