![]() |
| Foto; Ilustrasi |
Penulis;
Riski Noviyanti dan Riska Noviyanti
Alamat;
Dusun Sambitangga, Desa Rade, Kecamatan Madapangga, Kabupaten Bima, NT
Sang Pengembara
Tersebutlah seorang pemuda yang baik rupa dan budinya. Mencari sebuah ketiadaan terhadap yang ada. Berjalan mengenali arah yang sama. Menapaki langkah dari desa ke desa, meninggalkan rumah yang berpenghuni, hingga kian waktu membawanya menemukan seorang yang menjadi penunjuk jalan utama.
Sore itu, tanah tengah bergemuruh oleh hujan, menyambut yang datang dari yang tiada. Angin berbisik keras pada tiap-tiap rumah, sedang para penghuninya berteriak pada sanak saudara agar tak membuka pintu. Sebab adakalanya angin membawa yang tumbang, meresahkan kalbu pada tiap diri yang sembari meminta. Jalanan menjadi sepi, tatkala pohon-pohon itu menari dengan merdunya. Mereka hanya tahu menikmati tanpa tahu arti kata mati. Para pengendara itu memilih berteduh, agar yang terjadi tak menjadi. Waspada mereka akan sebuah bencana, nama baik-baik Tuhan mereka sebut, agar ketakutan yang dirasa menjelma menjadi sebuah ketenangan. Namun pemuda itu memilih tidak, ia terus berjalan melangkah di tengah para angin yang berpesta. Dia pun ingin berteduh, namun teduhan itu tak memiliki suara ketenangan.
Tak ada yang memahami apa yang menjadi maksud, apalagi rasa pada dadanya. Yang mereka lihat hanyalah seorang pemuda gila, tanpa tahu akan sebuah rasa yang begitu hampa, kala saat remaja, sebuah bencana yang mengubah tapaknya. Sang ayah yang terlalu percaya pada manusia, hingga tertipu lah ia, segala harta yang menjadi penopang keluarga telah runtuh berkalang. Mimpinya pun hangus dalam dekapan samudera. Ketika ia ingin menjadi seorang pembicara yang luar biasa, seorang yang memahami hukum dan membela banyak manusia. Namun niat baiknya dalam mimpi itu, telah dimusnahkan pula oleh manusia. Tumbuh dewasa dengan mengikhlaskan segala derita yang ada, hidup dalam kepahitan rasa yang menuntunnya mencari atas Siapa.
Saat malam, berbaris - baris kalimat Tuhan yang terbaca, terdengar dari suara-suara yang tak dewasa. Seorang Guru yang mengajar akan kesucian kalimat Tuhan. Meski tak tahu benar makna yang terucap, ia dengan bijaksana berkata, 'tiadalah menyembah dari kalimatnya, tapi carilah Dia (Tuhan) dari tiap firmanNya'.
Pemuda itu hanya berdiam diri pada sajadahnya, akan kemana lagi ia mencari terhadap pemilik rasa. Membiarkan suara hatinya mengungkap, namun masih, ia belum mengenali terhadap siapa yang berkata. Lampu petak seadanya pada tembok rumah itu, angin yang sesekali menerpa tak mampu menyentuh keyakinannya.
Lalu entah kehendak dari siapa, bertemu lah ia dengan seorang Ompu(laki-laki tua) pada desa seberang yang tak berpendidikan, seorang yang hina, yang hidup di kegelapan malam seperti kulitnya.
Lalu pada Jum'at malam, berjamulah ia pada rumah batu sederhana itu. Meski telah diingatkan oleh keluarga dan para Guru yang dihormati desa agar tak kesana, namun ia keras kepala, ia jadikan dirinya tamu pada malam itu. Kala langit tengah digemparkan oleh gemuruh, kala tetesan hujan jatuh pada bahunya, kembali berdiri di depan sebuah rumah asing, memaknai akan jiwanya yang terkapar oleh rasa. Diketuknya pintu itu tiga kali, lalu keluarlah Ina(wanita tua) berkebaya kumuh, dipersilahkan nya pemuda itu melangkah masuk, disambut oleh Ompu yang tengah duduk beralas tikar dengan secangkir kopi hitam dan sebatang rokok yang menyala. Berbincang lah mereka akan tentang tiada nyata namun ada. Hingga hujan - hujan itu lelah untuk jatuh, dan malam menjemputnya pulang. Kenestapaanya membawa ia mengetahui makna rasa dan kata, menjadi sempurna dalam ucapan semesta. Kian berjalan beralas kaki, menempuh jarak yang berkilo-kilo, mencari seorang Guru yang mengetahui makna rahasia akan ghaibnya Tuhan yang berbicara, melangkah sedemikian rupa, meski penderitaan dan kemelaratan hadir terhadap Dirinya yang berserah.
Bersambung.....
Editor;
Deden Saputra

COMMENTS